Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SANG PENGEMBARA INTELEKTUAL




 Kerap disapa Alling, ia lahir di desa terpencil jauh dari keramaian kota, di usia lima tahun ia diajak oleh neneknya berkelana ke negeri Jiran, agar mengenal dunia lebih luas. Di sana ia hanya berkunjung dibeberapa tempat lalu kembali ke Indonesia dengan mengendarai kapal air.
Saat berumur 7 tahun, ia memasuki Sekolah Dasar dan ditunjuk oleh wali kelasnya menjadi ketua.  Berawal dari ketua kelas Alling terdidik menjadi orang yang memiliki tanggung jawab dan berkarakter sebagai pemimpin masa depan. Pembelajaran berlalu sampai ia menduduki kelas 6 dan diakhir semester ia selalu tampil di depan teman-temannya sebagai pemimpin dan selalu meraih gelar rangking satu. Sehingga pada saat perpisahan ia merupakan murid teladan dan murid pintar di sekolahnya.
Setelah tamat SD ia melanjutkan sekolah di agama selama 6 tahun kemudian  melanjutkan pendidikan ke Universitas agar memperoleh pengetahuan yang lebih luas. Semasa kuliah, Alling selalu tampil menjadi leader ditengah teman-temannya, sehingga ia dikenal diberbagai kalangan, baik dari kalangan mahasiswa junior dan senior, dosen, dan civitas akedemika kampus.
Alling adalah orang yang memiliki visi besar dalam hidupnya, ia orang yang suka menulis, suka meneliti dan suka share dengan siapapun. Suatu hari ia duduk bersama kakak kelasnya yang menguasai ilmu sejarah. Ia bertanya mengenai asal mula pendidikan di Nusantara. Lalu tanpa berkata apa-apa sang kakak mengambil buku dan menyuruhnya agar ia membacanya. Di buku tersebut terdapat banyak wawasan mengenai sejarah pendidikan di nusantara. Dan pendidikan mulai berkembang itu dimulai pendidikan keagamaan.
Dari buku tersebut ia memahami bahwa, Indonesia dikenal dengan negeri 1000 pesantren, dimana sekitar abad ke 12 M, pesantren mulai ada dan berkembang dibeberapa daerah. Pesantren merupakan wadah pendidikan yang mengembangkan kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial bagi setiap orang yang masuk di dalamnya. Pengajar dipondok pesantren identik dengan kyai dan ustas yang memiliki  gelar sarjana, magister, doktor, bahkan sampai professor.
Mulanya pesantren didirikan di Aceh lalu berkembang ke Jawa, lalu Sulawesi dan keseluruh Nusantara. Seorang peneliti serta pengkaji Islam bernama Howard M Federspiel memiliki beberapa karya yang membuktikan bahwa pesantren sangat berperan penting untuk perkembangan pendidikan yang ada di Nusantara ini. Pendidikan di Indonesia berkembang pada Abad 15 M, dibuktikan dengan banyaknya sekolah, madrasah, dan tempat belajar lainnya. 
Jika dikaji secara mendalam mengenai pendidikan, ditemukan di kamus bahasa arab dengan kata تربية dan akar katanya رب, itu menujukkan bahwa pendidikan tidak lepas dari tuhan (agama apapun yang dianut), dengan landasan fikir tersebut kecerdasan intelekual melahirkan mausia yang cerdas sosial lalu cerdas spiritual.
Pendidikan sama halnya dengan pengajaran namun yang membedakan diantara keduanya adalah pendidikan merupakan transfer pengetahuan yang terdapat tuntunan untuk memahami ilmu pengetahuan berlandaskan nilai ketuhanan, sedagkan pengajaran adalah proses transfer pengetahuan yang tidak mengadung nilai ketuhanan.
Alling sadar tentang pentingnya memahami sejarah pendidikan di Nusantara setelah membaca buku dari kakandanya. Banyak hal yang dapat difahami jika mempelajari sejarah. Pelajar takkan lepas dari sejarah, dengan memahami sejarah akan tercipta kemampuan menghadapi masa kini dengan baik, dan kemampuan merancang masa depan dengan lebih baik. Orang yang selalu berpijak di pundak pendahulunya akan mampu melihat masa depan dengan bijak.
Melihat kondisi pendidikan di Indonesia, yang mulanya dikembangkan oleh orang-orang yang bergelut di pesantren menunjukkan bahwa semakin banyak orang-orang agamais, menunjukkan keluarannya akan menghasilkan orang yang patuh, orang yang berkarakter dan berakhlakul karimah.  Konteksnya ternyata berbeda dengan harapan yang sebenarnya, pendidikan semakin berkembang namun orang yang memahami hakikat pendidikan semakin sedikit, orang yang memiliki karakter sangat kurang, dan orang berakhlak baik itu hampir punah.
Alling duduk disudut lapangan, membayangkan apa yang akan terjadi 3 sampai 5 tahun kedepan tentang pendidikan di Nusantara. Apakah pendidikan masih mampu menjadikan para generasi semakin patuh, berakhlak dan bekarakter? Kenyataanya pendidikan membuat mausia semakin angkuh, sombong dan merasa paling hebat. Hal ini banyak ditemukan generasi sekarang akibat melupakan sejarah pendidikan dinusantara.
Alling bergegas ke sebuah tempat dimana ia selalu curhat kepada pencipta, tempat yang dijadikan sebagai penyegar suasana lahir dan batin dimana ketika ia memiliki banyak masalah. Ia membersihkan tubuhnya dengan air, lalu menghadap kearah pengharapan kedamaian, sehingga ia merasakan ketenangan, kedamaian dan kenyamanan, lalu ia merebah dan tertidur. Ketika terbangun ada seorang pemuda yang duduk disebelahnya, pemuda itu rambutnya hitam pekat, wajahnya berseri-seri, mata selalu takjub melihat keindahan wajahnya, senyumannya membuat orang yang memandangnya merasakan keindahan ciptaan Sang Pencipta. Nama pemuda itu ada Gappa, filosophy nama Gappa adalah ia terlahir diatas pohon langsat yang buahnya manis, diminati banyak orang dan membuat penikmatnya selalu ingin melahap langsat yang manis itu. Lalu Alling duduk disamping pemuda itu. Lalu ia bertanya “pak apakah pendidikan di Nusantara ini memiliki manfaat untuk generasi kedepan”? Gappa tersenyum lalu menjawab “ia”, Alling bertanya lagi “namun pak, nyatanya sekarang pendidikan semakin membuat orang yang berkecimpung di dalamnya semakin bobrok, berakhlak buruk, dan banyak meresahkan orang lain”, Gappa “maaf, mungkin ada beberapa orang yang seperti itu, namun mereka keliru terhadap pengamalan ilmunya, ia belajar tapi tak menyadari bahnya hakikat pengetahuan yang sebenarnya ada pada nilai kebenaran, nilai kebaikan dan nilai manfaat”. Alling selalu menyiapkan banyak pertanyaan kepada orang bijak disekiranya tiba-tiba diam, karena tersadar bahwa ia terlalu cepat menilai  dan terlalu cepat menjustifikasi.
Keliru ketika mengatakan pendidikan di Nusantara tidak mengandung manfaat atau sudah bergeser dari sejarahnya, yang membuat pendidikan itu kehilangan ruhnya adalah manusia yang bergelut di dalamnya, dimana pendidikan kadang dimanipulasi dengan lebel tarbiyah tapi ada kepentingan pribadi yang terselubung. Hal ini perlu diwaspadai oleh seluruh kalangan agar mempertahankan hakikat pendidikan di Nusantara.
Dalam UUD 1945 pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bangsa yang tidak sekedar melahirkan manusia yang berintelektual, tapi manusia yang cerdas sosial dan spiritual. Jika suatu bangsa hanya cerdas intelektual akan melahirkan pengetahuan yang kadang merugikan satu sama lain, jika suatu bangsa yang masyarakatnya hanya cerdas sosial akan melahirkan banyak orang yang memanfaatkan orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri, tapi jika bangsa itu didalamnya banyak orang yang cerdas spiritual akan melahirkan orang yang fanatik terhadap golongannya sendiri, bangsa yang cerdas di dalamnya terdapat orang-orang yang mampu mengkolaborasikan kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual, agar nilai kebaikan dan manfaat itu tercipta didalamnya.
Alling terus berhijrah agar pengembaraan intelektualnya semakin matang, karena sadar bahwa belajar itu tak lekang oleh waktu, jiwa yang masih muda kadang gampang memberikan penilaian, tapi itu bukan sebuah kesalahan, selama ada kesadaran untuk memperbaiki diri. Tersesat di awal tidaklah mengapa selama jiwa dan raga berusaha kembali kepada jalan kebenaran, syekh Mutawalli as-Sya’rawi di dalam bukunya mengatakan “orang yang berilmu adalah orang yang selalu belajar dan tidak puas terhadap ilmu, jika ia mengatakan saya sudah memiliki banyak ilmu dan saya sudah puas dengan ilmu yang saya miliki, maka ketika itu ia dikatakah jahil (bodoh).

Posting Komentar untuk "SANG PENGEMBARA INTELEKTUAL"